Surat Al-Kahf Ayat 61 - 70 dengan Tafsir dan Terjemahannya


Ayat 61

فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِى ٱلْبَحْرِ سَرَبًا

Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

«فلما بلغا مجمع بينهما» بين البحرين «نسيا حوتهما» نسي يوشع حمله عند الرحيل ونسي موسى تذكيره «فاتخذ» الحوت «سبيله في البحر» أي جعله بجعل الله «سربا» أي مثل السرب، وهو الشق الطويل لا نفاذ له، وذلك أن الله تعالى أمسك عن الحوت جري الماء فانجاب عنه فبقي كالكوة لم يلتئم وجمد ما تحته منه.

(Maka tatkala keduanya sampai ke pertemuan dua buah laut itu) yakni tempat bertemunya kedua laut itu (mereka berdua lupa akan ikannya) Yusya' lupa membawanya ketika berangkat, Nabi Musa pun lupa mengingatkannya (maka ia mengambil) yakni ikan itu melompat untuk mengambil (jalannya ke laut itu) Allahlah yang menjadikan jalan itu, yaitu dengan menjadikan baginya (dalam keadaan berlubang) seperti lubang bekasnya, yaitu lubang yang sangat panjang dan tak berujung. Demikian itu karena Allah swt. menahan arus air demi untuk ikan itu, lalu masuklah ikan itu ke dalamnya dengan meninggalkan bekas seperti lubang dan tidak terhapus karena bekasnya membeku.

Ayat 62

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَىٰهُ ءَاتِنَا غَدَآءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا

Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".

«فلما جاوزا» ذلك المكان بالسير إلى وقت الغداء من ثاني يوم «قال» موسى «لفتاهُ آتينا غداءنا» هو ما يؤكل أول النهار «لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا» تعبا وحصوله بعد المجاوزة.

(Maka tatkala mereka berdua melewati) tempat itu dengan berjalan kaki sampai dengan waktu makan siang, yaitu pada hari kedua Musa (berkatalah kepada muridnya, "Bawalah ke mari makanan kita!) yaitu makanan yang biasa dimakan pada siang hari, yakni makan siang (sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini)" payah, yang hal ini baru mereka rasakan setelah berjalan jauh dari tempat itu.

Ayat 63

قَالَ أَرَءَيْتَ إِذْ أَوَيْنَآ إِلَى ٱلصَّخْرَةِ فَإِنِّى نَسِيتُ ٱلْحُوتَ وَمَآ أَنسَىٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيْطَٰنُ أَنْ أَذْكُرَهُۥ ۚ وَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِى ٱلْبَحْرِ عَجَبًا

Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".

«قال أرأيت» أي تنبه «إذ أوينا إلى الصخرة» بذلك المكان «فإني نسيت الحوت وما أنسانيهُ إلا الشيطان» يبدل من الهاء «أن أذكره» بدل اشتمال أي أنساني ذكره «واتخذ» الحوت «سبيله في البحر عجبا» مفعول ثان، أي يتعجب منه موسى وفتاه لما تقدم في بيانه.

(Muridnya menjawab, "Tahukah kamu) ingatkah kamu (tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi) yakni di tempat tersebut (maka sesungguhnya aku lupa ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku kecuali setan) kemudian Dhamir Ha pada ayat ini dijelaskan oleh ayat berikutnya, yaitu (untuk mengingatnya) lafal ayat ini menjadi Badal Isytimal, artinya setan telah melupakan aku untuk mengingatnya (dan ia mengambil) yakni ikan itu (akan jalannya di laut dengan cara yang aneh sekali.)" Lafal 'Ajaban menjadi Maf'ul Tsani, artinya, Nabi Musa dan muridnya merasa heran terhadap perihal ikan itu sebagaimana yang telah disebutkan di atas tadi.

Ayat 64

قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَٱرْتَدَّا عَلَىٰٓ ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا

Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

«قال» موسى «ذلك» أي فقدنا الحوت «ما» أي الذي «كنا نبغ» نطلبه فإنه علامة لنا على وجود من نطلبه «فارتدا» رجعا «على آثارهما» يقصانها «قصصا» فأتيا الصخرة.

(Berkatalah) Musa, ("Itulah) tempat kita kehilangan ikan itu (tempat) sesuatu (yang kita cari)" kita cari-cari, karena sesungguhnya hal itu merupakan pertanda bagi kita, bahwa kita akan dapat bertemu dengan orang yang sedang kita cari. (Lalu keduanya kembali) kembali lagi (mengikuti jejak mereka semula) menitinya (secara benar-benar) lalu keduanya sampai di batu besar tempat mereka beristirahat.

Ayat 65

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ ءَاتَيْنَٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

(فوجدا عبدا من عبادنا) هو الخضر (آتيناه رحمة من عندنا) نبوة في قول وولاية في آخر وعليه أكثر العلماء (وعلمناه من لدنا) من قبلنا (علما) مفعول ثان أي معلوما من المغيبات، روى البخاري حديث "" إن موسى قام خطيبا في بني إسرائيل فسئل أي الناس أعلم؟ فقال: أنا، فعتب الله عليه إذ لم يرد العلم إليه، فأوحى الله إليه: إن لي عبدا بمجمع البحرين هو أعلم منك قال موسى: يا رب فكيف لي به قال: تأخذ معك حوتا فتجعله في مكتل فحيثما فقد الحوت فهو ثم، فأخذ حوتا فجعله في مكتل ثم انطلق وانطلق معه فتاه يوشع بن نون حتى أتيا الصخرة ووضعا رأسيهما فناما واضطرب الحوت في المكتل فخرج منه فسقط في البحر "" فاتخذ سبيله في البحر سربا "" وأمسك الله عن الحوت جرية الماء فصار عليه مثل الطاق فلما استيقظ نسي صاحبه أن يخبره بالحوت فانطلقا بقية يومهما وليلتهما حتى إذا كانا من الغداة قال موسى لفتاه آتنا غداءنا إلى قوله واتخذ سبيله في البحر عجبا قال وكان للحوت سربا ولموسى ولفتاه عجبا إلخ "".

(Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami) yaitu Khidhir (yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami) yakni kenabian, menurut suatu pendapat, dan menurut pendapat yang lain kewalian, pendapat yang kedua inilah yang banyak dianut oleh para ulama (dan yang telah Kami ajarkan kepadanya dari sisi Kami) dari Kami secara langsung (ilmu). Lafal 'ilman menjadi Maf'ul Tsani, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah-masalah kegaiban. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa pada suatu ketika Nabi Musa berdiri berkhutbah di hadapan kaum Bani Israel. Lalu ada pertanyaan, "Siapakah orang yang paling alim?" Maka Nabi Musa menjawab, "Aku". Lalu Allah menegur Nabi Musa karena ia belum pernah belajar (ilmu gaib), maka Allah menurunkan wahyu kepadanya, "Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di pertemuan dua laut, dia lebih alim daripadamu". Musa berkata, "Wahai Rabbku! Bagaimanakah caranya supaya aku dapat bertemu dengan dia". Allah berfirman, "Pergilah kamu dengan membawa seekor ikan besar, kemudian ikan itu kamu letakkan pada keranjang. Maka manakala kamu merasa kehilangan ikan itu, berarti dia ada di tempat tersebut". Lalu Nabi Musa mengambil ikan itu dan ditaruhnya pada sebuah keranjang, selanjutnya ia berangkat disertai dengan muridnya yang bernama Yusya bin Nun, hingga keduanya sampai pada sebuah batu yang besar. Di tempat itu keduanya berhenti untuk istirahat seraya membaringkan tubuh mereka, akhirnya mereka berdua tertidur. Kemudian ikan yang ada di keranjang berontak dan melompat keluar, lalu jatuh ke laut. Lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (Q.S. Al Kahfi, 61) Allah menahan arus air demi untuk jalannya ikan itu, sehingga pada air itu tampak seperti terowongan. Ketika keduanya terbangun dari tidurnya, murid Nabi Musa lupa memberitakan tentang ikan kepada Nabi Musa. Lalu keduanya berangkat melakukan perjalanan lagi selama sehari semalam. Pada keesokan harinya Nabi Musa berkata kepada muridnya, "Bawalah ke mari makanan siang kita", sampai dengan perkataannya, "lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". Bekas ikan itu tampak bagaikan terowongan dan Musa beserta muridnya merasa aneh sekali dengan kejadian itu.

Ayat 66

قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

«قال له موسى هل أتَّبعك على أن تعلَّمن مما عُلمت رَشَداً» أي صواباً أرشد به وفي قراءة بضم الراء وسكون الشين وسأله ذلك لأن الزيارة في العلم مطلوبة.

(Musa berkata kepada Khidhir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?)" yakni ilmu yang dapat membimbingku. Menurut suatu qiraat dibaca Rasyadan. Nabi Musa meminta hal tersebut kepada Khidhir. karena menambah ilmu adalah suatu hal yang dianjurkan.

Ayat 67

قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا

Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.

«قال إنك لن تستطيع معي صبرا».

(Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku").

Ayat 68

وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ خُبْرًا

Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

(وكيف تصبر على ما لم تحط به خبرا) في الحديث السابق عقب هذه الآية "" يا موسى إني على علم من الله علمنيه لا تعلمه وأنت على علم من الله علمكه الله لا أعلمه، وقوله خبرا مصدر بمعنى لم تحط أي لم تخبر حقيقته.

("Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?") di dalam hadis yang telah disebutkan tadi sesudah penafsiran ayat ini disebutkan, bahwa Khidhir berkata kepada Nabi Musa, "Hai Musa! Sesungguhnya aku telah menerima ilmu dari Allah yang Dia ajarkan langsung kepadaku; ilmu itu tidak kamu ketahui. Tetapi kamu telah memperoleh ilmu juga dari Allah yang Dia ajarkan kepadamu, dan aku tidak mengetahui ilmu itu". Lafal Khubran berbentuk Mashdar maknanya kamu tidak menguasainya, atau kamu tidak mengetahui hakikatnya.

Ayat 69

قَالَ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرًا وَلَآ أَعْصِى لَكَ أَمْرًا

Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".

«قال ستجدني إن شاء الله صابرا ولا أعصي» أي وغير عاص «لك أمرا» تأمرني به، وقيد بالمشيئة لأنه لم يكن على ثقة من نفسه فيما التزم، وهذه عادة الأنبياء والأولياء ألا يثقوا إلى أنفسهم طرفة عين.

(Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentang) yakni tidak akan mendurhakai (kamu dalam sesuatu urusan pun)" yang kamu perintahkan kepadaku. Nabi Musa mengungkapkan jawabannya dengan menggantungkan kemampuannya kepada kehendak Allah, karena ia merasa kurang yakin akan kemampuan dirinya di dalam menghadapi apa yang harus ia lakukan. Hal ini merupakan kebiasaan para nabi dan para wali Allah, yaitu mereka sama sekali tidak pernah merasa percaya terhadap dirinya sendiri walau hanya sekejap, sepenuhnya mereka serahkan kepada kehendak Allah.

Ayat 70

قَالَ فَإِنِ ٱتَّبَعْتَنِى فَلَا تَسْـَٔلْنِى عَن شَىْءٍ حَتَّىٰٓ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا

Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".

«قال فإن اتبعتني فلا تسألني» وفي قراءة بفتح اللام وتشديد النون «عن شيء» تنكره مني في علمك واصبر «حتى أحدث لك منه ذكرا» أي أذكره لك بعلته، فقبل موسى شرطه رعاية لأدب المتعلم مع العالم.

(Dia mengatakan, "Jika kamu ingin mengikuti saya, maka janganlah kamu menanyakan kepada saya) Dalam satu qiraat dibaca dengan Lam berbaris fatah dan Nun bertasydid (tentang sesuatu) yang kamu ingkari menurut pengetahuanmu dan bersabarlah kamu jangan menanyakannya kepadaku (sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu)" hingga aku menuturkan perihalnya kepadamu berikut sebab musababnya. Lalu Nabi Musa menerima syarat itu, yaitu memelihara etika dan sopan santun murid terhadap gurunya.